Zona merah dan Lubang-lubang Hijau



“ Bukankah semuanya telah diatur, entah itu suka maupun duka. Terpenting adalah kita selalu sabar dan pandai untuk mensyukuri dan percayalah bersama kesulitan pasti ada kemudahan.”

Zona merah dan Lubang-lubang Hijau

Penyebaran virus corona tidah hanya menjadi masalah Indonesia namun menjadi masalah dunia. Wabah virus corona yang memicu gangguan pernapasan  pertama muncul di kota Wuhan pada akhir tahun lalu. Virus ini menyebar ke belasan Negara. Begitu pula Indonesia yang mana penyebaran virus corona sampai saat ini semakin bertambah. Untuk mencegah penyebaran virus corona yang kian membanyak tentu saja banyak kampus-kampus, sekolah, dan tempat kerja yang diliburkan. Begitu pula, dengan kampusku yaitu Politeknik Statistika STIS yang  mengikuti arahan dari Gubernur DKI Jakarta yaitu Bapak Anies Baswedan untuk diliburkan selama dua pekan. Sedangkan universitas lain, ada diliburkan sampai akhir semester, sampai akhir mei, dll.  Berhubung kampusku hanya libur selama dua pekan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang kampung. Menetap di kontrakan bersama teman-teman dan kakak tingkat yang juga memutuskan untuk tidak pulang. Sebenarnya, meski hanya dua pekan tidak rugi jika memutuskan pulang karena kemungkinan besar libur akan diperpanjang dengan kondisi Jakarta yang menjadi pasien positif corona terbanyak atau bisa dibilang dalam keadaan zona merah dan juga tiket pesawat yang tidak terlalu mahal seperti biasanya. Saat itu, aku sempat berfikir apa yang akan yang terjadi pada kami. Dengan adanya peluang terkena virus corona karena berada di zona merah. Pada saat itu, semua teman-temanku dari Bangka Belitung memutuskan untuk pulang kampung, tersisa aku sendiri dari mereka yang memutuskan untuk tidak pulang. Begitu pula dengan teman-teman kontrakkanku, hanya tersisa 4 dari 12 orang. Ketika aku masih berada di Jakarta sering ku dengar arahan dan pesan-pesan dari teman-teman, dosen, keluarga untuk menjaga kesehatan dan jangan keluar dari rumah jika tidak ada keperluan mendesak. System kuliah tatap muka kami diganti dengan PJJ (pembelajaran jarak jauh). PJJ untuk pekan awal belum berjalan sama sekali, sehingga selama seminggu kami full libur dan belum bisa terbayang seperti apa kuliah jarak jauh atau kuliah online ini. Akhirnya, setelah dilalui beberapa pertemuan, aku menyadari betapa beruntungnya kuliah offline/ kualiah tatap muka. Bertemu langsung dengan dosen dan teman-teman. Diajarkan materi lewat proyektor dan papan tulis. Materi lebih mudah dipahami, namun sekarang kondisi sudah berbeda. Aku benar-benar merindukan saat-saat itu.  PJJ tidaklah seenak yang dibayangkan kita harus memahami materi sendiri, membuat ringkasan dan mengerjakan tugas. Begitulah kondisinya, kita tidak dapat menyalahkan sesiapa pun. 

Sebelum berakhirnya system kuliah kami dengan PJJ selama dua pekan kemudian diumumkan lagi kalau system PJJ bakalan diperpanjang sampai 3 april 2020. Kala itu aku benar-benar bingung harus pulang atau tidak. Namun, lagi-lagi aku memutuskan untuk tidak pulang. Aku ingat pada tanggal 27 maret   2020 kala itu pada siang hari, teman-teman kontrakanku memberitahukan bahwa direktur akan memperpanjang libur kami lebih lama karena kondisi pasien yang positif corona di Jakarta semakin bertambah dan sudah banyak yang meninggal. Namun, pada saat itu belum keluar surat resmi dari kampus dan juga aku mendapat kabar dari bibiku kalau bandara Bangka Belitung akan ditutup. Tanpa pertimbangan apapun akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang. Tak pernah ku bayangkan akan pulang secepat ini,  memang biasanya aku pulang setiap setahun sekali namun setelah uas. Kali ini aku pulang ke rumah dengan membawa tanggung jawab yaitu kuliah jarak jauh. Namun, aku sadar lewat kondisi ini aku diberi kesempatan untuk bertemu keluargaku lebih cepat.  Aku tersadar bahwa memang benar kalau bersama kesulitan ada kemudahan. Setelah tiket dipesan oleh bibiku yang mana aku akan akan pulang tanggal 28 maret 2020. Sejujurnya aku belum pernah pulang ke kampung sendirian, biasanya bersama teman-teman dari Bangka Belitung. Namun, tidak ada lagi teman-temanku dari Bangka Belitung yang tersisa, akhirnya  aku memberanikan diri. Pada waktu di pesawat, aku  duduk di dekat jendela. Sungguh beruntung kataku kala itu. Diberikan kempatan untuk melihat pemandangan  awan-awan putih yang beraneka ragam bentuk yang mana biasanya ku lihat dari bawah dan juga pemandangan yang ada di bawah yang tampak sungguh kecil . Banyak foto yang ku ambil.
gambar awan-awan putih

Ketika pesawat kami melintasi pulau Bangka Belitung yang mana pulauku terkenal sebagai penghasil timah yang banyak. Lewat inilah terselesaikan tugas TPKI-ku untuk menulis di blog tentang Bangka Belitung sebagai penghasil timah entah dampak positif entah dampak negative. Kali ini, aku benar-benar menyaksikan bagaimana kondisi Bangka Belitung. Dari atas terlihat jelas banyak sekali lubang-lubang hijau. Lubang-lubang ini menjadi tanda kurangnya tanggung jawab dari penambang-penambang timah. Hal ini tentu saja berdampak buruk pada ekosistem baik di darat maupun di laut dan juga rusaknya hutan di Bangka Belitung. Menjaga hutan dan ekosistem tentu saja menjadi tujuan SDGs. Lubang-lubang hijau itu seakan merusak pemandangan indah dari pulauku. Banyak pertanyaanku kala itu menggapa penambang-penambang itu tidak mau menutup lubang setelah mengambil timah. Bukankah lubang-lubang itu akan berdampak di masa depan? 
gambar lubang-lubang hijau

Penampakan lubang-lubang hijau yang banyak tentu saja menjadi masalah bagi Bangka Belitung. Meskipun timah menjadi pemasukan utama untuk ekonomi Bangka Belitung namun bekas penambangan seperti lubang-lubang tersebut yang tidak ditimbun kembali dan juga hutan-hutan yang dijadikan sebagai lahan pertambangan yang tidak ditanam kembali menjadi masalah lingkungan bagi Bangka Belitung. Sesampainya di bandara Bangka, aku harus mengantri untuk mengisi kertas kuning yang berisi pendataan tentang kami sebagai pendatang tentu saja untuk mencegah penyebaran virus corona di Bangka Belitung. Karena pada saat itu, Bangka Belitung belum ada yang positif terkena virus corona. Aku merasa bangga dengan pulauku. Setelah mengisi kertas kuning tersebut. Kami satu persatu disemprot seakan pada saat itu kami menjadi hama di tanaman. Namun, apalah daya kami datang dari zona merah. Setelah itu tampak ayahku dari jauh. Biasanya ada adikku yang paling kecil akan ikut bersama ayahku, namun kali ini tidak. Karena takut ada terpapar virus di barang-barang bawaanku.  Sesampai di rumah aku tidak bersalaman dengan keluargaku. Aku langsung mandi, mencuci pakaian dan barang-barangku yang lain ku simpan di luar rumah untuk ku jemur esoknya sebagai bentuk pencegahan. Katanya aku harus isolasi diri. Namun, pada saat aku pulang, adikku juga libur dari pesantren dan baru pulang bersamaan dengan ku. Aku tetap menjaga kontak fisik dengan mereka dan berusaha menjauh.

Kegiatanku tidak jauh beda pada saat berada di kontrakan. Kuliah online, berdiam di rumah setidaknya 14 hari, dll. Namun rasanya kali ini berbeda berkumpul dengan keluarga tidak akan ada penggantinya. Makan masakan orang tua yang mana lidah ini selalu merindukan masakan ibu. Bercerita dengan adik-adik yang sudah lama tidak berjumpa. Akhirnya aku bertemu adikku yang baru lahir tanggal 19 maret 2020. Kondisi ini tidak pernah terbayangkan oleh ku. Namun, bukankah ada hikmah dibalik musibah. Kita hanyalah manusia yang tidak mengetahui apa yang terjadi di masa sekarang. Kita sedang menjalankan scenario hidup tentang kondisi ini, nanti kita akan cerita tentang kisah ini. 




Komentar

Postingan Populer